Saat ini, bila Kamu kebetulan sedang bersantai di sebuah Cafe, Coffee Shop, pusat perbelanjaan, atau tempat wisata di perkotaan, maka pemandangan umum yang mungkin Kamu lihat adalah generasi muda yang sibuk berkutat dengan smartphone, chatting, mengambil gambar swa foto lalu mengunggahnya ke media sosial.

Seperti itulah kira-kira potret kehidupan kaum muda di kota besar atau lebih tepat disebut urban-middle-class millennials. Menurut data yang dilansir oleh Boston Consulting Group (BCG), prediksi populasi MAC (Middle-Class and Affluent Customer) Indonesia di tahun 2020 adalah sebesar 141 juta orang atau 64 persen dari total populasi Indonesia saat ini.

Pada tahun yang sama, prediksi jumlah generasi urban-middle-class millennials Indonesia sendiri – menurut data yang telah dikompilasi oleh Alvara Research dari berbagai sumber – akan mencapai 35 juta jiwa.

Urban-middle-class millennials adalah early adopter dari teknologi terbaru, dimana mereka sudah sangat terbiasa berbelanja baik melalui media sosial (facebook, instagram, whatsapp, twitter) atau disebut dengan social commerce, maupun belanja di e-commerce platform yang sudah jauh lebih lengkap sistem pembayarannya – terutama karena didukung financial technology ( fintech).

Besarnya populasi pengguna media sosial dan transaksi belanja e-commerce di Indonesia yang diprediksi pada tahun 2020 akan mencapai 130 miliar dollar AS membuat banyak pihak menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk mempermudah pengalaman mereka berbelanja secara offline dan online.

Itulah sebabnya, menurut data dari Asosiasi Fintech Indonesia 43 persen dari 140 perusahaan fintech di Indonesia bergerak di bidang payment.

Budaya Konsumerisme 

Terlepas dari sisi positif meningkatnya perekonomian karena terus bertumbuhnya volume dan nilai transaksi belanja, budaya berbelanja secara online dan cashless di kalangan generasi muda saat ini menimbulkan permasalahan sosial lain, yakni meningkatnya budaya konsumerisme.

Hal itu tercermin dari data OJK akhir tahun 2015 lalu, yaitu menurunnya rasio Marginal Prospensity to Save (MPS) dan meningkatnya rasio Marginal Prospensity to Consume (MPC). Rasio MPS sendiri berada di bawah rasio MPC sejak tahun 2013. Hal ini menandakan bahwa sejak beberapa tahun lalu lebih banyak masyarakat menghabiskan pendapatannya untuk kegiatan belanja dibandingkan untuk menabung.

Ini diperkuat Survey Manulife Investor Sentiment Index pada Q4 2015 yang mengungkapkan; 53 persen responden menghabiskan 70 persen dari penghasilan mereka untuk berbelanja, dan 10 persen dari responden menghabiskan 90 persen dari penghasilannya untuk berbelanja.

Dari kacamata pembangunan nasional, menurunnya rasio MPS akan berpengaruh pada kurangnya ketersediaan dana di lembaga keuangan, dan secara jangka panjang, akan membuat Indonesia harus terus mengandalkan hutang dari luar negeri untuk pembiayaan pembangunan  infrastruktur.

Sementara dari kacamata individu, lemahnya budaya menabung sejak dini akan mengurangi kesempatan generasi millennial untuk mengakumulasi kekayaan, yang seharusnya dapat mereka nikmati ketika usia mereka sudah tidak lagi produktif dan tidak sanggup bekerja lagi.

Fintech untuk Gerakan Menabung dan Berinvestasi

Meningkatnya transaksi cashless, membuat millennial menjadi lebih mudah dalam membelanjakan uangnya karena mereka tidak merasa mengeluarkan uang secara fisik.

Inovasi layanan dan produk fintech yang memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi para generasi millenial perlu diikuti dengan rasa tanggung jawab untuk menyeimbangkan hal tersebut.

Fintech perlu menjadi katalis bagi perilaku keuangan yang sehat. Survey Manulife Investor Sentiment Index mengatakan 60 persen dari responden mengaku ingin dapat mengontrol pengeluaran dengan lebih baik, namun tidak memiliki peralatan atau tools yang memadai, sementara 53 persen responden mengaku menyesal tidak mempersiapkan perencanaan keuangannya sejak dini.

Perencana keuangan fintech dapat menjadi salah satu solusi untuk memberikan edukasi dan pemahaman akan produk-produk keuangan yang terintegrasi, yang sejalan dengan gaya hidup para millennial.

Perencana keuangan fintech tidak hanya dapat memberikan koneksi kepada berbagai rekening bank sehingga pengguna dapat melakukan pencatatan transaksi cashless secara otomatis, tetapi juga menawarkan layanan pengaturan keuangan atau auto budgeting yang dapat membantu pengguna memperkirakan anggaran ideal untuk setiap kategori pengeluaran.

Lebih jauh, perencana keuangan fintech bahkan bisa menjadi pintu masuk perkenalan generasi millennial dengan berbagai alat perencanaan keuangan lain seperti asuransi dan reksadana. Salah satu perusahaan terdepan yang telah melakukan hal ini adalah Dompetsehat.

Pendekatan unik juga dilakukan oleh Acorns, sebuah perusahaan fintech asal Amerika Serikat yang ‘memaksa’ penggunanya untuk menabung setiap kali berbelanja dengan cara membulatkan biaya dan menginvestasikan sisanya ke dalam satu rekening investasi.

Model bisnis ini menarik untuk diadopsi karena tidak berusaha merubah budaya masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur konsumtif, dengan cara ‘menunggangi’ kebiasaan belanja mereka dengan menabung.

Kunci utama keberhasilan edukasi keuangan ini adalah komitmen besar yang bersifat jangka panjang dari semua pihak, agar masyarakat tidak terjebak semata dalam konsumerisme tetapi dapat mengambil keputusan keuangan yang bijak bagi kesejahteraan masa depan.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih telah membaca artikel dari mobilku, semoga apa yang mobilku share dapat bermanfaat bagian kalian semua. Tunggu postingan artikel lainnya di mobilku.